Sebuah rumah di tikungan jalan
Di balik pagar hitam sepasang remaja bercinta
Dalam gelap
Kelelawar penuh gairah mencumbu rembulan
Bintang-bintang memetikkan caya
Angin menggoyang malam
Dan tawamu –perempuan- sungguh merahkan darah
Cinta
Sudahkah kita mengerti dan paham
Hakekatnya
Angin basah menyapu wajah
Diam-diam
Adam dan hawa datang bawa catatan
Dik, kalau yang kau pinta cuma nafsu
Akulah lelaki
Jika yang kau pinta cuma setumpuk lakon
Seperti dalam cerpen atau roman atau sinetron
Akulah lelaki
Dik, pernahkah kita tanya pada kedalaman nurani
Apa makna kita berpandangan
Apa makna kuremas jemarimu
Apa makna kita berdekapan
Apa makna kukecup keningmu
Maknanya pahamkanlah
Jika tak ditemu
Maka selebihnya adalah dosa
Minggu, 18 Mei 2008
JINGGA
Jangan biarkan aku jadi pembunuh
Dari segala kekalahan. Aku sudah muak
Di setiap pelataran rumah yang ku singgahi
Kubenamkan matahari dari segala tawa
Bulan menyayat tangisnya penuh dendam
Aku sudah muak
Memandangi arca wajahku yang
Retak-retak namun tak pernah runtuh
Karena lumut-lumut mengekalkan
Luka
Dari segala kekalahan. Aku sudah muak
Di setiap pelataran rumah yang ku singgahi
Kubenamkan matahari dari segala tawa
Bulan menyayat tangisnya penuh dendam
Aku sudah muak
Memandangi arca wajahku yang
Retak-retak namun tak pernah runtuh
Karena lumut-lumut mengekalkan
Luka
KEMBANG HASRAT
I
Waktu lahir aku telanjang – tak tahu apa-apa
Setelah dewasa dan mengenal harum mawarmu
Kau lempar aku hingga tak tahu harus
Buat apa
Malam menggigil penuh di ranjang
Pada kediaman benda-benda juga kukabarkan
Bahwa masih kukalungkan hasrat melati
Dibentang langit biru.
II
Seperti dalam setiap selesai sujud
Kusetubuhkan jemariku dalam dekapannya.
Tuhan
Waktu lahir aku telanjang – tak tahu apa-apa
Setelah dewasa dan mengenal harum mawarmu
Kau lempar aku hingga tak tahu harus
Buat apa
Malam menggigil penuh di ranjang
Pada kediaman benda-benda juga kukabarkan
Bahwa masih kukalungkan hasrat melati
Dibentang langit biru.
II
Seperti dalam setiap selesai sujud
Kusetubuhkan jemariku dalam dekapannya.
Tuhan
LAMARAN
: ‘dik
Aku mencintainya karena engkau
Seperti darah yang bergerak
Memenuhi tiap urat syaraf di tubuhku
Dan membuat hidupku selalu berdetak
Aku mencintainya karena engkau
Bagai air yang mengalir dari puncak gunung
Mengalir terus tak terhalangi dan tak pernah lesu
Sampai akhirnya bermuara di lautmu tenang
Aku mencintainya karena engkau
Seperti telah kuserahkan hasrat dan jiwaku
Dalam genggamanmu
Begitulah ia mengambil hatiku
Yang sampai sekarang tak jua dikembalikan padaku
Tuhan, aku sungguh
Aku mencintainya karena engkau
Seperti darah yang bergerak
Memenuhi tiap urat syaraf di tubuhku
Dan membuat hidupku selalu berdetak
Aku mencintainya karena engkau
Bagai air yang mengalir dari puncak gunung
Mengalir terus tak terhalangi dan tak pernah lesu
Sampai akhirnya bermuara di lautmu tenang
Aku mencintainya karena engkau
Seperti telah kuserahkan hasrat dan jiwaku
Dalam genggamanmu
Begitulah ia mengambil hatiku
Yang sampai sekarang tak jua dikembalikan padaku
Tuhan, aku sungguh
PADA AKHIRNYA
Persoalan kita adalah persoalan maut
Yang selalu mengintai dengan pedangnya
Siap menikam kita kapan saja
Tak peduli apakah kita sedang tertawa
Atau sedang mandi peluh bergumul dengan
Nasib yang kerontang
Selalu mengintai dari pojokpojok waktu mencair
Siap memotong nadi roh kita
Kapan saja
Yang selalu mengintai dengan pedangnya
Siap menikam kita kapan saja
Tak peduli apakah kita sedang tertawa
Atau sedang mandi peluh bergumul dengan
Nasib yang kerontang
Selalu mengintai dari pojokpojok waktu mencair
Siap memotong nadi roh kita
Kapan saja
Langganan:
Postingan (Atom)